Selasa, 07 Juni 2016

Izinkan Aku Menciummu Ibu


Cerpen
Izinkan Aku Menciummu Ibu
by. Siska Indrimonika



Bukankah aku selalu didamba ?
Tidakkah hadirku melegakan relung penantian ?
sungguhkah aku membebani mu ?
Mungkinkah Tuhan menyertakan derita mu bersama ku ?
Ibu, Jika Tuhan menobatkanmu sebagai Malaikat dunia, menyertakan surga di telapak mu
Lalu beratkah bagimu menyebutku buah hatimu ?
Benarkah pergiku adalah keinginanmu, dan hadirku penyesalanmu ?
Jika benar, izinkan aku merasakan surgaku sebentar saja, mencium aromanya sebelum akhirnya bibirmu melengkungkan kebahagiaan bersama pergiku.
***
Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, gelap langit terlihat pekat dari biasanya, kilap-kilap di sudut langit saling beradu, mungkin saja mereka berlomba memangil air langit. Tak cukup sedetik setelah cahaya terakhir. Benar saja setiap sisi bumi dijatuhi satu demi satu air langit. Begitu cepat, begitu keras . mungkin saja air langitpun sedang bahagia terjun ke bumi, mungkin saja ini memang waktu bagi mereka untuk mengunjungi kenangan yang sengaja mereka simpan di sudut bumi. Dan sayangnya bumi bulat tak bersudut, hingga mereka perlu berlama-lama dibumi untuk menemukan kembali kisahnya.

Disudut jalan itu, di bawah pohon besar. Itu bukan tempat yang baik untuk berlindung Nak, karena air akan terus bekerja keras, menembus tiap sela ranting untuk menjatuhkan diri ketanah hingga tiap tetesnya mendentingkan bunyi memanggil kenangannya, lagipula engkau terlalu kecil untuk berada diluar rumah selarut ini Nak, dimana Ibu dan Bapak mu ? tidak kah mereka sedang menghwatirkanmu di rumah ? mencarimu kemana-mana ? menunggumu dengan gelisah di depan pintu ?

Bola matanya bersinar, tetapi entah mengapa sinarnya meredup, sendunya seakan merindukan kasih, benarkah kau bocah nakal yang tak tau arah pulang ? atau kah kau bocah yang selalu lari ketika dinasehati ? tapi sepertinya bisu mu menolak nya Nak . lalu adapakah dengan mu ?

Lili gadis berambut panjang berwarna merah itu memang telah sebulan ini menghabiskan waktunya dibawah pohon besar disudut kampung, merah rambutnya bukanlah pewarna tapi alami sejak ia lahir. Umurnya sekitar lima tahun, Lili selalu terlihat diam, hanya saja tak jarang matanya membahasakan iba tiap kali melihat anak-anak sebayanya mengenakan pakaian sekolah melintas bergandengan dengan Bapak, Ibunya. Hingga berujung tetesan air mata.

Beberapa kali warga sempat menanyakan rumah dan nama orang tuanya namun tak satupun dari mereka berhasil mendengar suaranya, sempat pula Lili di amankan dirumah warga namun waktu belum sampai senja Lili kembali kebawah pohon. Baginya itu adalah rumahnya, meskipun setiap kali ia berada disana ia harus menahan panasnya terik, pasrah dengan ejekan yang menusuk telinganya, menahan dahaga dan lapar yang tak sebentar, dan tak ada pelindung dari dinginnya malam.

Lili selalu saja memilih berbicara dengan pohon, bercerita hingga menangis, tersenyum hingga tetawa bahagia hanya dengan pohon yang selalu ia sandari ketika lelah, hingga wargapun akhirnya membiarkannya, terkadang sesekali dari mereka melemparkan makanan untuknya. Ceritanya seketika terhenti, matanya berhenti berkedip, mulutnya terkunci, hingga matanya melelehkan air, tiap kali ia melihat wanita berparas cantik, dengan pesona rambut terurai, aromanya wangi tak berkesudahan melintas tepat dihadapannya. Hingga matanya tak lagi melihat bayangan wanita itu lalu bibirnya perlahan membuka dan tersenyum.

Hal ini terus ia lakukan, mengejar wanita itu hingga lecet kakinya makin melebar. Benarkah perih itu tak ia rasakan ? hanya demi mencium aroma parfum wanita itu.  Hingga malam itu, wanita yang selalu menarik perhatiannya benar-benar berada di depannya. Matanya yang terlelap tiba-tiba terbuka, aroma yang sangat ia suka, aroma yang ia idamkan, aroma yang tak asing dihidungnya. Ya wanita itu.

“Ibuu.. apakah kau menjemputku ? apakah kau ingin mengajakku jalan-jalan ? tapi aku seperti ini, aku belum mandi buu,, kenapa tak kau bangunkan aku lebih awal agar aku bisa bersih-bersih dan kau tak malu lagi jalan bersamaku”. Belum selesai gadis kecil itu berbicara wanita itu langsung membuangkan uang dihadapannya.
“Ambil, dan pergilah jauh-jauh !” bentaknya disertai dengan tatapan mata penuh amarah.
Lili hanya diam seribu bahasa, kata-kata itu terlalu menyakitkan untuk anak seusia Lili.
“Dengarkan baik-baik, jangan panggil aku Ibu, karena aku bukan Ibu mu, masaku bersamamu telah habis saat Kau berhasil ku keluarkan dari dalam perutku. Sudah cukup waktuku 9 bulan menahan malu karena mu, untuk apa lagi aku harus mengahabiskan waktu hidupku bersamamu. Kau tahu bahkan laki-laki yang seharusnya Kau panggil ayah tak menganggapmu, jadi untuk apa harus ku panggil kau putri kecilku ?.”
“Rindu buu” jawab lili terbata-bata, isaknya makin terasa.
“Rindu ? aku bukan Ibu mu, jadi untuk apa kau rindu. Ambil uang itu dan pergilah jauh, untuk apa kau bertahan hidup ? seandainya kau mati sejak d kandungan mungkin saja kau tak seperti ini. Kau anak HARAM.” Teriak wanita itu tepat ditelinga Lili lalu pergi meninggalkannya sendiri.

Sejak Lili dilahirkan memang tak pernah ia melihat sosok ayah, ayah yang harusnya melindunginya tiap kali Ibunya memarahinya, ayah yang mendekapnya tiap kali Ibunya memakinya, ayah yang mempertahankannya ketika Ibunya akhirnya mengusirnya. Dan ternyata ayahlah yang membuat ibu membuang dan tak menginginkanku, ia pergi setelah tahu Aku ada.

Bu, aku tak mau uang yang kau bawa untukku, hingga tengah malam begini kau rela keluar dari rumahmu untuk membawakanku uangmu, mungkin tinggal denganku akan membuatmu semakin penat, hingga aku pergi. Banyak warga yang mengajakku tinggal bersamanya tapi aku tetap ingin disini Bu, karena dari sini aku tak perlu membuka mataku lebih lebar jika ingin melihatmu dirumah, dari sini aku bisa menciummu tiap kali kau lewat, jadi jangan usir aku lagi Bu, karena akan sangat sulit membayangkanmu ditempat yang terlalu jauh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar